Jakarta, 8 Mei 2010 (Business News)
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Helmy Faishal Zaini meminta dunia usaha mengarahkan dana tanggung jawab sosial perusahaannya (Corporate Social Responsibility, CSR) untuk daerah tertinggal. Hal itu dikemukakan saat berdialog dengan sejumlah pengusaha dari perusahaan besar di kantornya, di Jakarta, pertengahan bulan Maret 2010 lalu. Bahkan, ke depan menargetkan 65 persen pembiayaan pembangunan daerah tertinggal diambil dari dana CSR. Potensi dana CSR di Indonesia mencapai Rp9,7 triliun, jika pemanfaatannya tepat, maka masalah ketertinggalan bisa dipecahkan.
Kementerian PDT, pada dasarnya, memiliki data lengkap tentang daerah tertinggal, termasuk potensi dan masalah yang dihadapi, dan mempersilakan dunia usaha memilih daerah mana yang akan mereka jadikan lokasi penyaluran dana CSR mereka. Kementerian PDT tidak mempunyai prioritas khusus daerah tertinggal mana yang harus diberikan bantuan dana CSR, hanya saja berharap penyaluran dana itu tidak terpusat di Jawa. Selain itu, potensi dana CSR yang begitu besar tersebut diharapkan bisa menyentuh ranah pembangunan yang tidak terlayani oleh pemerintah, misalnya pembangunan jalan poros desa. Ini jalan yang sangat vital bagi mobilitas kegiatan ekonomi desa tertinggal, namun tidak masuk dalam program di Kementerian Pekerjaan Umum. Atas dasar itu, CSR bisa masuk di situ.
Dana CSR, pada intinya, juga bisa disalurkan untuk kegiatan produktif di daerah tertinggal, misalnya untuk membantu usaha garam di Kabupaten Sampang, Madura. Dana CSR bisa disalurkan bagi kegiatan produktif seperti usaha garam tersebut dimana mampu pula menyerap tenaga kerja yang besar. Tentu, pembangunan daerah tertinggal semakin besar dimana tidak hanya mengandalkan dari APBN (walau harus ditambah dengan APBD), namun himbauan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal kepada para pengusaha besar (baik BUMN maupun BUMS) akan memperbesar proses percepatan penbangunan daerah tertinggal.
Meskipun para pengusaha mampu menyisihkan dana CSR-nya untuk pembagunan daerah tertinggal, namun mekanisme koordinasi pilihan daerah tertinggal yang akan dibangun itu hendaknya dilakukan antara dana APBN/APBD dengan dana CSR tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih di dalam pelaksanaannya.Pembangunan daerah tertinggal yana pertama kali diutamakan adalah daerah yang diharapkan nantinya akan bisa dijadikan sebagai daerah-daerah yang mampu mengalami pertumbuhan yang tinggi, growth poles. Dengan daerah tersebut mampu bertumbuh tinggi, diharapkan daerah ini akan mampu menarik daerah-daerah tetangganya untuk bertumbuh lebih baik. ( HS )
CRITICAL REVIEW
Masalah pembiayaan pembangunan daerah tertinggal yang yang paling utama adalah ketepatan dalam pengalokasian dana CSR (Corporate Social Responsibility) dan APBN untuk pembangunan daerah tertinggal. Dalam hal ini pihak yang terlibat meliputi pemerintah sebagai penyalur dana APBN serta BUMN dan BUMS sebagai penyalur dana CSR. Solusi yang ditawarkan terhadap permasalahan dalam artikel ini adalah melakukan mekanisme koordinasi dalam penyaluran dana antara dana APBN dan CSR untuk pembangunan daerah tertinggal sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam penggunaannya. Solusi ini cukup tepat dalam menyikapi masalah di atas, karena dengan adanya koordinasi dalam penggunaan dana tersebut, maka dapat meminimalkan terjadinya masalah dalam pembangunan daerah tertinggal, khususnya masalah kesenjangan antar wilayah. Misalnya saja seperti disebutkan dalam artikel di atas bahwa dana APBN diindikasikan untuk program di bidang operasionalisasi kebijakan pada Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT), sedangkan dana CSR digunakan untuk program yang tidak masuk dalam program Kementrian Pekerjaan Umum, seperti pembangunan jalan poros desa, dan dana ini juga dapat disalurkan untuk kegiatan produktif daerah tertinggal. Dengan solusi tersebut, maka besar kemungkinan terjadinya pemerataan pembangunan yang tidak terpusat pada beberapa wilayah tertentu saja.